Minggu, 25 Maret 2012

Presiden SBY harus serius merespons sejumlah isu pelanggaran HAM dengan menyusul prioritas penyelesaian kasus.

  Sepanjang 2011, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)  mencatat, telah terjadi 691 kasus kekerasan dengan 1586 korban kekerasan. Kekerasan dengan aneka latar belakang baik karena aspirasi politik, stigma berbeda ideologi, dirampas tanah adatnya dan lain sebagainya.

Menandai 14 tahun usia Kontras hal ini menunjukkan pemerintah gagal memenuhi janji-janji pemenuhan HAM. Sebaliknya, dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu, Pemerintah (Presiden SBY) justru berpolemik dengan tindakan-pernyataan politis. Aksesoris politik republik ini semakin membosankan, manakala para pejabat negara hanya mampu beretorika melalui kemampuan personal komunikasi politik di forum-forum internasional. Namun minim perwujudan dalam keadilan-keadilan kecil bagi para korban.

"

Republik ocehan ini bahkan tidak mampu menegakkan konstitusi dan hukum untuk melindungi hak-hak warga negaranya. Terutama mereka yang miskin, minoritas dan buta hukum, yang terus menerus dihujami dengan tindakan-tindakan politik diskriminasi," kata Haris Azhar, Koordinator Kontras dalam siaran persnya hari ini di Jakarta, (20/3).

Kedepan, KontraS memprediksikan tidak banyak perubahan yang bisa diwujudkan di masa depan. Diskriminasi masih berlanjut, partisipasi masyarakat dan korban hanya dialokasikan sebatas seremonial, tidak ada kemajuan yang layak dan pemulihan tidak terjadi.

Situasi ini akan semakin mengerucut pada ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah, baik di level nasional maupun lokal.

Jika dilihat dari sikap dan pilihan tindakan korban dan masyarakat, mereka semakin solid dan kreatif melawan berbagai sumbatan dan ketidakcakapan pemerintah.

Meski pemerintah gagal membuktikan keberpihakannya pada HAM, Kontras masih melihat ada kesempatan untuk memperbaiki performa di bidang HAM bisa dilakukan dengan melakukan sejumlah hal dalam kurun waktu yang singkat.


Penyelesaian Kasus Tersebut :
  • 
Pertama, Presiden SBY harus serius merespons sejumlah isu pelanggaran HAM, seperti; menuntaskan kasus Munir dan merumuskan model perlindungan pekerja HAM di Indonesia; menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM di Papua dengan melibatkan partisipasi masyarakat adat Papua secara optimal; menyelesaikan berbagai kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu termasuk yang terjadi di Aceh; merumuskan pola penyelesaian nasional atas sengketa tanah di berbagai wilayah dan; bersikap tegas melakukan perlindungan kepada kelompok minoritas seperti 
Ahmadiyah dan kelompok gereja."Presiden harus segera meminta Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM dibantu oleh Dewan Pertimbangan Presiden, Sdr. Albert Hasibuan, untuk menyusun agenda prioritas di atas yang sesuai aturan hukum HAM yang berlaku di Indonesia pada 2012," kata Haris.

  • 

Kedua, Polri harus memastikan adanya penghentian penggunaan kekerasan dalam tindakan pengamanan ataupun penegakan hukum. Termasuk harus berani untuk tidak menggunakan kriminalisasi (pemidanaan) terhadap masyarakat yang melakukan tindakan advokatif atau masyarakat yang menjalankan kebebasan berekspresinya. Polri juga harus berani melakukan penegakan hukum berupa perlindungan terhadap setiap kelompok (minoritas) dari ancaman kekerasan kelompok lainnya, termasuk melakukan pemidanaan terhadap kelompok yang melakukan kekerasan.



  • Ketiga, DPR harus memastikan adanya kontrol yang yang efektif dan jujur terhadap Polri dan TNI termasuk lembagaBIN, terutama dalam persoalan kontrol penggunaan kekerasan dalam tugas-tugas institusi-institusi keamanan ini. Termasuk DPR harus memastikan adanya agenda amandemen UU Peradilan Militer untuk memastikan adanya ruang kontrol hukum atas kekerasan yang dilakukan militer di pengadilan umum. Isu kontrol dan akuntabilitas menjadi semakin penting mengingat adanya penguatan terhadap UU di bidang keamanan pada 2011 (UU Intelijen, RUU Kamnas dan RUU Penanganan Konflik Sosial) dan masih menguatnya wacana pemberantasan terorisme.



  • Keempat, KontraS mengajak semua elemen masyarakat untuk terus melakukan kontrol dan pengawasan atas berbagai kebijakan dan perilaku aparat yang berpotensi mengakibatkan kekerasan dan pelanggaran HAM.

 
Sumber :www.beritasatu.com