Selasa, 27 Maret 2012

Kasus BLBI dan Penyelesaiannya

1. Selayang Pandang Kasus BLBI

    Berawal dari krisis ekonomi yang menerpa negara-negara di Asia tahun 1997. Satu per satu mata uang negara-negara di Asia merosot nilainya. Kemajuan perekonomian negara-negara di Asia yang banyak dipuji oleh banyak pihak sebelumnya menjadi angin kosong belaka. Persis sebelum krisis ekonomi, World Bank tahun 1997 menerbitkan laporan berjudul The Asian Miracle yang menunjukkan kisah sukses pembangunan di Asia. Ternyata kesuksesan pembangunan ekonomi di negara-negara Asia tersebut tidak berarti banyak karena pada kenyataannya negara-negara tersebut tidak berdaya menghadapi spekulan mata uang yang tinggi dan berujung pada krisis ekonomi.

    Menyusul jatuhnya mata uang Baht, Thailand, nilai rupiah ikut merosot. Untuk mengatasi pelemahan rupiah, Bank Indonesia kemudian memperluas rentang intervensi kurs jual dan kurs beli rupiah, dari Rp. 192 (8%), menjadi Rp. 304 (12%). Guna mengurangi tekanan terhadap rupiah, Bank Indonesia mulai melakukan pengetatan likuiditas dengan menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 6% menjadi 14%.

    Akibat kondisi ini bank-bank umum kemudian meminta bantuan BI sebagai lender of the last resort . Ini merujuk pada kewajiban BI untuk memberikan bantuan kepada bank dalam situasi darurat. Dana talangan yang dikucurkan oleh BI ini yang dikenal dengan BLBI . Sesehat apa pun sebuah bank, apabila uang dari masyarakat ditarik serentak tentu tidak akan sanggup memenuhinya.
Penyimpangan BLBI dimulai ketika BI memberikan dispensasi kepada bank-bank umum untuk mengikuti kliring meskipun rekening gironya di BI bersaldo debet. Dispensasi diberikan kepada semua bank tanpa melakukan pre-audit untuk mengetahui apakah bank tersebut benar-benar membutuhkan bantuan likuiditas dan kondisinya sehat. Akibatnya, banyak bank yang tidak mampu mengembalikan BLBI.

    Penyimpangan BLBI dapat dianggap sebuah lembaran hitam dalam kehidupan perbankan nasional. Sementara penanganan terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI tersebut dapat pula dicatat sebagai sebuah lembaran hitam dalam sejarah kehidupan hukum Indonesia. Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI.

2. Audit oleh BPK

    Tanggal 31 Desember 1999, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengeluarkan laporan audit kinerja pada Bank Indonesia per 17 Mei 1999. Dalam laporan tersebut BPK mengungkapkan jumlah BLBI yang telah disalurkan oleh BI kepada bank penerima telah mencapai jumlah Rp. 164.536,10 miliar dan jumlah BLBI yang tidak layak dialihkan kepada pemerintah sebesar Rp. 80,24 triliun.
Pengalihan hak tagih BLBI dari BI terhadap bank umum penerima kepada pemerintah merupakan tindak lanjut dari pengalihan 54 Bank dalam Penyehatan dari BI ke BPPN pada
Maret 1998 dan pelaksanaan program penjaminan pemerintah yang dicanangkan melalui persetujuan bersama Gubernur BI dan Menteri Keuangan pada tanggal 6 Februari 1999.

    Audit Badan Pemeriksa Keuangan pada Agustus 2008 menunjukkan, sebanyak Rp 138 triliun dari dana itu atau sekitar 96 persennya ternyata diselewengkan pemilik bank untuk kepentingan sendiri. Sepuluh tahun sejak kasus ini mencuat, pemerintah dinilai tak serius menyelesaikannya. Banyak pemilik bank atau obligor melarikan diri ke luar negeri.

    Sebagian penunggak dana BLBI lolos kewajiban melunasi utang saat pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang memungkinkan lepasnya tuntutan dan pembebasan terhadap mereka. Peraturan ini diterbitkan di masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri-Hamzah Haz.

    Hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus. Bahkan, pada era pemerintahan SBY-JK, tidak ada satu orang terdakwa pun yang diajukan ke pengadilan.
Tuntutan untuk mengusut kasus BLBI memang selalu muncul mewarnai pergantian pemerintahan hingga pergantian jaksa agung baru. Namun, tindak lanjut pengungkapan kasus itu tak ada kemajuan yang berarti.

3. Audit oleh BPKP

    Audit investigasi juga dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). BPK melakukan audit terhadap seluruh penyaluran BLBI dari BI kepada 48 bank penerima dan audit investigasi terhadap penggunaan BLBI pada 5 Bank Take Over dan 15 Bank dalam likuidasi. Sedangkan BPKP melakukan audit investigasi penggunaan BLBI pada 10 Bank Beku Operasi dan 18 Bank Beku Kegiatan Usaha.

    Menteri Keuangan Bambang Sudibyo meminta BPKP melakukan audit investigasi berkoordinasi dengan BPK Untuk mengetahui berbagai penyimpangan dalam kasus BLBI baik yang dilakukan oleh BI maupun bank penerima BLBI. BPKP melakukan audit terhadap Bank Beku Operasi (BBO) dan Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Sedangkan BPK melakukan audit investigasi terhadap Bank Dalam Likuidasi (BDL) dan Bank Take Over (BTO).

    Dalam laporannya, BPKP menyebutkan bahwa kerugian negara disebabkan oleh peranan BI yang belum melakukan pengawasan sebagaimana mestinya, belum menerapkan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi, dan lalai melakukan pengamanan terhadap bank yang laporannya ada indikasi pelanggaran. Selain itu BPKP juga menganggap tidak adanya pengendalian yang memadai oleh BI terhadap penggunaan dana BLBI oleh para obligor sebagai faktor yang turut memperkeruh penanganan kasus ini.

    Pernyataan tersebut kemudian disangkal oleh Gubernur BI Syahril Sabirin yang menyatakan bahwa BLBI yang diberikan BI merupakan konsekuensi dari pelaksanaan pemerintah sebagai lender of the last resort di bidang perbankan. Jika tidak, ekonomi sudah hancur dan ambruk.
Selain itu, BPKP juga menemukan sejumlah penyimpangan dalam penggunaan BLBI pada bank penerima, seperti digunakan untuk pembayaran pinjaman subordinasi sebelum tahun 1997, pembayaran kontrak derivatif baru atau kerugian karena kontrak derivatif lama yang jatuh tempo, Penempatan baru di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) atau pelunasannya yang tidak sesuai ketentuan, dan Membiayai over head Bank. Bila dilakukan perhitungan penyimpangan yang dilakukan oleh bank penerima berjumlah Rp. 54,561 Milyar.

    Syahril Sabirin beranggapan BLBI itu seperti ongkos yang harus ditanggung sebagai bagian untuk penyelamatan ekonomi. Dalam kesempatan itu, Gubernur BI juga menyampaikan bahwa jumlah BLBI yang sudah dikucurkan sampai pada posisi 29 Januari 1999 adalah Rp. 164,54 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp. 144,54 triliun sudah dialihkan kepada pemerintah lewat BPPN. Sementara Rp. 20 triliun tidak dapat dialihkan ke BPPN karena merupakan penyertaan modal pemerintah lewat Bank Exim.

                                         PENYELESAIAN KASUS BLBI

    Pemerintah, dalam hal ini BPPN, terus melakukan berbagai upaya untuk memaksimalkan
pengembalian uang negara dari tangan para bankir, para pemegang saham terkait maupun dari
para debitur masing-masing bank yang mendapatkan penyaluran dana BLBI. Berbagai konsep
penyelesaian yang sifatnya menyeluruh telah dibuat dalam rangka mendapatkan kembali dana
BLBI tersebut.

    Dalam upayanya mengoptimalkan pengembalian uang negara BPPN telah melakukan upaya
penyelesaian dengan membuat beberapa pola perjanjian sesuai dengan kondisi dan kemampuan
dari para pemegang saham bank penerima BLBI. Perjanjian tersebut berupa:
  1. Mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham pengendali.Pemerintah, bersama pemegang saham bank beku operasi (BBO) dan bank beku kegiatan usaha (BBKU), menandatangani master settlement and acquisition agreemen (MSAA), pola ini dan master refinancing agreement and note issuance agreement (MRNIA). Tujuannya untuk mengembalikan BLBI, baik melalui penyerahan aset maupun pembayaran tunai kepada BPPN.
  2.  Pengkonversian BLBI pada bank-bank take over (BTO) menjadi penyertaan modalsementara (PMS).
  3.  Mengalihkan utang bank ke pemegang saham pengendali, melalui pola penyelesaian kewajiban pemegang saham pengendali (PKPS). Caranya dengan menandatangani akta pengakuan utang (APU). MSAA merupakan skema untuk penerima BLBI yang dinilai asetnya mampu menutupi seluruh kewajiban. MSAA diberlakukan terhadap pemegang saham pengendali (PSP) bank yang masih memiliki harta cukup untuk menyelesaikan kewajibannya terhadap pemerintah. MSAA sendiri dibedakan menjadi dua jenis, yaitu terhadap pemegang saham pengendali Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan terhadap pemegang pengendali saham Bank Take Over (BI, 2002). Masuk dalam kategori ini adalah pemegang saham dari Bank Central Asia, Bank Umum Nasional, Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Surya, serta Bank Risjad Salim International. Jika aset yang diserahkan dinilai tidak mencukupi, para pengutang BLBI menggunakan skema MRNIA. Melalui skema ini, para penandatangan harus menyerahkan jaminan pribadi atau personal guarantee dan menyatakan kesediaan untuk menyerahkan tambahan aset, bila aset yang sudah diserahkan ternyata tetap belum mencukupi. Yang masuk dalam kategori ini adalah pemegang saham dari Bank Modern, Bank Umum Nasional, Bank Danamon, Bank Hokindo. Skema penyelesaian dengan MSAA kemudian menimbulkan kontroversi. Terutama karena  aset yang diserahkan ternyata tidak sebanding dengan besar utang. Untuk itu, pemerintah menggunakan skema Akta Pengakuan Utang. Skema ini sama dengan MSAA, hanya pemegang saham pengendali harus bertanggungjawab bila aset yang diagunkan ternyata tidak cukup untuk mengembalikan BLBI yang telah diterima. Sedangkan PKPS merupakan penyempurnaan terhadap mekanisme penyelasaian BLBI melalui MSAA dan MRNIA yang mengundang banyak komentar negatif. Caranya melalui penandatanganan akta pengakuan utang (APU). Dalam akta pengakuan utang (APU), mekanisme penyelesaian kewajiban pemegang saham adalah dengan pembayaran secara tunai dalam jangka waktu secara berkala. Yang masuk dalam kategori ini adalah pemegang saham dari bank-bank Bumi Raya Utama, BIRA, Sewu, Hastin, Tata, Namura Yasonta, Indotrade, Putera, Baja, Lautan Berlian, Papan Sejahtera, Yama, Tamara, Nusa Nasional, Intan, PSP, Namura Maduma, Bahari, Metropolitan, Bank Umum Servitia, Aken, Mashill, dan Sanho. Untuk APU, telah dilakukan reformulasi jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS). Selain itu pembayaran yang berdasarkan perjanjian sebelumnya jatuh tempo pada akhir 2004, dipercepat menjadi selambat-lambatnya Juni 2003. Karena itu tidak ada jalan lain bagi pemegang saham yang tidak kooperatif selain penyelesaian hukum dengan melaporkan ke Kejaksaan

Alanda Kariza Menuntut Keadilan untuk Ibunya

    Arga Tirta Kirana, mantan Kepala Divisi Legal Bank Century 2005-2009, terancam dipenjara selama 10 tahun dan didenda Rp10 miliar karena tersandung kasus Bank Century. Karena dirasa keputusan dan kebijaksanaan itu tidak adil, sang anak Alanda Kariza, protes dan menulis sebuah tulisan di blog pribadinya alandakariza.com. dimana tulisan tersebut telah menggegerkan dunia maya.

    Alanda merasa perlakuan tidak adil lantaran dalam kasus yang sama, pemilik Bank Century dituntut lebih ringan, yakni 8 tahun penjara. Tuntutan untuk ibunya juga dirasa jauh lebih berat dibanding vonis yang telah dijatuhkan hakim kepada Gayus Tambunan yakni tujuh tahun penjara. Perasaan itu semua dicurahkan dalam blog pribadinya, alandakariza.com.

    Dalam surat dakwaan bernomor REG.PERK.NO.:PDM-521/JKTPS/03/2010, Rabu 9 Februari 2011, diketahui Arga memang didakwa bersama dengan Pimpinan PT Bank Century Cabang Senayan, Jakarta, yakni Linda Wangsa Dinata, dalam dua dakwaan.

    Dalam dakwaan Primair, Arga dan Linda, baik sendiri-sendiri atau bersama dengan Hermanus Hasan Muslim (Direktur Utama Bank Century), Robert Tantular melanggar ketentuan perbankan. Itu dilakukan pada periode Desember 2007 sampai dengan 2008 bertempat di Bank Century. Mereka melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi, atau rekening suatu bank. Tuduhan lainnya, memberikan kredit tanpa melalui prosedur yang benar kepada PT Canting Mas Persada, PT Wibowo Wadah Rezeki, PT Accent Investmen Indonesia, serta PT Signature Capital Indonesia.

    Mereka diduga telah mengabulkan kredit kepada PT Canting sebesar Rp 82 miliar; PT Wibowo kredit Rp 121 miliar; PT Accent kredit Rp 60 miliar dengan jaminan berupa saham Rp 120 miliar, serta PT Signatur kredit Rp 97 miliar dengan jaminan berupa deposit valas US $ 10 juta.
Atas perbuatannya itu, Arga dan Linda Wangsa Dinata, diancam pidana dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a UU Perbankan Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara 5-15 tahun serta denda antara Rp 10 miliar hingga Rp 200 miliar.
Dalam dakwaan subsidernya, terdakwa diancam pidana dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan Jo Pasal 56 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Ancaman hukumannya pidana penjara 3-8 tahun serta denda antara Rp 5 miliar hingga Rp 100 miliar.

    Jaksa menilai Arga dan Linda terbukti melakukan perbuatan sesuai yang didakwakan. Jaksa kemudian meminta hakim menjatuhkan hukuman kepada Arga dan Linda pidana penjara 10 tahun. Selain itu Arga dan Linda harus membayar denda Rp 10 miliar dan jika tidak dibayar maka pidana penjara ditambah enam bulan kurungan.
Ancaman hukuman inilah yang dirasa tidak adil jika dibandingkan dengan kasus yang menimpa Robert Tantular dan Hermanus Hasan Muslim. Jaksa menuntut Robert pidana penjara delapan tahun, denda Rp 50 miliar dengan subsider 5 bulan kurungan.
Padahal, jaksa yang diketuai Damly Rowelcis, menjerat Robert dengan tiga pasal, yaitu Pasal 50A Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan jo 55 ayat 1 kesatu KUHP, dan Pasal 50 Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan.

    Dalam putusannya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya memvonis Robert empat tahun penjara dan denda Rp50 miliar dengan subsider lima bulan penjara. Hukuman Robert kemudian diperberat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Robert divonis lima tahun penjara. Di tingkat kasasi, hukuman Robert makin diperberat. Mahkamah Agung menjatuhkan Robert hukuman sembilan tahun penjara.

    Hermanus Hasan Muslim juga mendapat vonis ringan dalam kasus Century. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Hermanus tiga tahun penjara dan denda Rp 5 miliar. Namun, hukuman Hermanus diperberat oleh Majelis Kasasi yakni selama enam tahun penjara. Majelis juga menghukum Hermanus untuk membayar denda Rp 50 miliar.

    Bagi kubu Arga dan Linda, tuntutan penjara 10 tahun dan denda Rp 10 miliar terasa sangat berat. Humphrey R Djemat selaku pengacara Arga Tirta Kirana, menduga kliennya akan dikorbankan dalam kasus Century. Sebab, tuntutannya jaksa terhadap Arga lebih tinggi dibanding bos Century, Robert Tantular. “Kami menduga Arga akan dikorbankan, dia orang kecil sehingga diperlakukan seperti ini,” kata Humphrey.

    Menurut Humphrey, kliennya akan menyampaikan semua keberatannya dalam sidang pembacaan pembelaan (pledoi) yang digelar Kamis hari ini, 10 Februari. “Ini ketidakadilan, kami akan sampaikan dalam pledoi. Bagaimana mungkin yang bekerja justru dituntut melebihi bos-bosnya,” ujarnya.
Padahal, kata dia, saat menjabat Kepala Divisi Legal Bank Century, Arga merupakan penerima kuasa Direktur Utama. “Dan harus diketahui, penerima kuasa itu harusnya tidak memikul tanggung jawab,” kata Humphrey.

    Karena tuntutan demikian tinggi, Arga sempat patah arang. Bahkan, sempat berniat mengakhiri hidupnya. Beruntung, Arga mengurungkan niat bunuh diri.
Kondisi tekanan psikologis itu, kata Humphrey, diketahui oleh putrinya, Alanda yang mencurahkan perasaan di blognya. “Alanda tahu persis bagaimana ibunya terguncang jiwanya,” ujar dia.
Perasaan serupa disampaikan Linda. Ia mengaku sedang di rumah sakit. Sudah dua hari ia dirawat. “Saya syok memikirkan tuntutan itu, dari mana uang sebanyak itu,” ujar Linda dengan suara lirih.
Linda mengaku saat masih menjabat sebagai kepala cabang, ia sering mendapat perintah pencairan kredit oleh Direktur Utama Century yang merangkap Direktur Kredit, Hermanus Hasan Muslim. Di bawah tekanan, ia harus menandatangani kredit yang kebanyakan tidak memenuhi syarat.
“Sekarang saya dikejar-kejar, harus mempertanggungjawabkan semuanya. Saya ini hanya pekerja, tidak ngerti hukum, semua yang perintahkan Robert dan Hermanus,” kata dia.
Saat itu, Linda menambahkan, setiap proses kredit diatur oleh atasannya. Sebagai pekerja dan bawahan, ia tidak bisa berbuat apa-apa. “Saya di posisi paling bawah, ibaratnya disuruh perang ya perang. Saat itu tidak ada satu orang pun yang mengingatkan saya,” kata dia.
Saking berkuasanya, Robert bahkan sampai menempatkan orang khusus di bagian audit. Karenanya Linda merasa diperlakukan tidak adil, sebab ia dituntut jauh lebih tinggi dibandingkan Robert.
Menanggapi tudingan tidak adil, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Noor Rachmad, membantahnya. “Bukan tidak adil, sebab tuntutan jaksa sudah sesuai dengan fakta perbuatan,” kata Noor Rachmad.

    Menurut dia, hukuman bui yang dituntut jaksa tersebut sesuai dengan pasal dakwaan yang terbukti di persidangan. “Dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun maksimal 15 tahun,” kata dia.
Menurutnya, tuntutan bagi terdakwa dalam perkara yang sama bisa saja lebih tinggi dibanding terdakwa lainnya. “Semuanya tergantung fakta yang terungkap dalam persidangan. Kalau terdakwa itu perannya lebih berat dan pertanggungjawabannya lebih tinggi, itu bisa saja terjadi,” dia berdalih.
Betapapun, surat curahan hati Alanda ini menarik perhatian sejumlah pihak. “Ini kan belum vonis, tapi kok sudah memprihatinkan,” kata Wakil Ketua DPR Anis Matta seusai rapat internal Tim Pengawas kasus Century.

    Menurut Anis, Arga Tirta Kirana, adalah seorang karyawan biasa yang tidak memiliki kewenangan besar di Bank Century. Anis pun menduga, Arga tidak banyak menentukan arah kebijakan Bank Century.

    Anggota Komisi Hukum Aziz Syamsuddin, juga mempertanyakan tuntutan tim jaksa penuntut umum yang menjerat Arga 10 tahun penjara. “Jamwas (Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan) harus segera memeriksa jaksa penuntut umum,” kata Aziz. “Tuntutannya tidak adil, lebih besar dari bos-bos Century.”

    Aziz menyarankan kubu Arga melaporkan kasus ini kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan. “Ini yang kami soroti dari teman-teman Kejaksaan. Karyawan kecil, pimpinan cabang kok dituntut lebih besar,” jelas politisi Golkar ini.
Bahkan, Fahri Hamzah anggota Komisi Hukum dari Fraksi PKS membandingkan kasus Arga ini sama dengan kasus yang menimpa rekannya, M Misbakhun. “Misbakhun juga dituntut 8 tahun penjara, sama seperti Robert Tantular. Padahal itu hanya perkara perdata. Jadi Anda semua tahulah permainan ini,” tukas Fahri lagi.

sumber : http://www.i-berita.com/internet/alanda-kariza-menuntut-keadilan-untuk-ibunya.html